Rabu, 14 Januari 2009

BUMN Dalam Skenario Politik

Pemikiran dasar Meneg BUMN Syofyan Jalil tak akan jauh berbeda dari ketika menjadi staf ahli dan asisten Meneg BUMN yang dikomandoi Tanri Abeng dalam konteks restrukturisasi BUMN. Berawal dari pengakuan bahwa, terlepas dari segala kelemahan BUMN, ketika krisis ekonomi BUMN adalah lokomotif untuk menarik ekonomi ketika swasta sudah colaps dan koperasi membutuhkan waktu untuk belajar. Beberapa hal yang membuat BUMN masih survive adalah 1) Prinsip kehati-hatian akibat banyaknya aturan dan bertahan pada core bisnis yang captive market. 2) Akibat krisis Pertamina tahun 1974 yang membuat bangkrut negara membuat pemerintah mengambil kebijakan yang melarang BUMN langsung berhutan ke luar negeri tapi melalui two step loan. Seandainya tidak ada kebijakan larangan dan pembatasan saat itu diyakini bahwa kondisi BUMN akan lebih parah dari swasta, karena swasta yang over ekpansi dengan menggunakan dana luar negeri.
Berdasarkan PP No. 50 tahun 1998 melalui lembaga tinggi pemberdayaan BUMN ditugaskan melakukan pemberdayaan dan restrukturisasi BUMN dengan merubah paradigma birocratic driven policy menjadi business driven policy. Ini dimulai dari melakukan restrukturisasi perusahaan baik dari sisi organisasi, struktur perusahaan, bisnis dan keuangan yang gunanya untuk mengurangi campur tangan birokrasi. Termasuknya diantaranya melalui spin-off, konsolidasi usaha, dan lukuidasi sehingga akan terbentuk beberapa holding.
Hasil dari langkah di atas diharapkan akan terakumulasi kentungan yang dapat dijual ke ruang publik atau privatisasi.
Data empiris menunjukan bahwa langkah konsolidasi usaha melalui merger/akuisis tidak selalu membawa hasil akhir (final story) yang memuaskan. Atau dengan kata lain peluang sukses-gagal merger/akusisi adalah fifty-fifty. Pertama, sejumlah bank hasil merger pada era tahun 70 an ternyata mengalami kegagalan tragis pada masa krisis tahun 1997 setelah diluidasi oleh pemerintah seperti Bank Sejahtera. Kedua, merger/akuisisi di Amerika pada era 60 dan 80-an ternyata keberhasilannya juga sangat kecil. Seperti menurut Mc.Kinsey mengungkapkan bahwa dari 56 proyek merger/akuisisi hasilnya adalah 7% tidak jelas arahnya, 23% sukses, dan 70% gagal.
Ini menandakan tidak ada jaminan bahwa merger/akuisisi memberikan resiko kegagalan yang lebih besar daripada manfaat ekonomik seperti peningkatan sinergi, atau diversifikasi usaha. Bahkan Ann Mc Donagh Bengtsson mengutip komentar pelaku merger/akuisis sinis mengatakan bahwa mengakuisisi lebih menyenangkan daripada mengelolanya dan sukses jangka panjang serta keuntungan financial adalah masalahnya.
Analisis pasca merger bukan merupakan bacaan yang menyenangkan. Penilaian merger yang tergesa-gesa adalah berbahaya.
Salah satu penyebab kegagalan merger dan akuisisi jika proyek ini dibawa ke dalam ranah politik yang pragmatis. Kedekatan pengambil keputusan pada salah satu kekuatan politik dapat menjadikan ini sebagai jualan yang sangat mudah. Terlepas apapun hasilnya, berhasil atau gagal yang jelas untuk jangka pendek cash flow untuk kampanye terpenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar